Friday 12 December 2014

Tjerita Pasar Kliwon

Hari ini Jumat Kliwon, 12 Desember 2014. Bukan kisah mistis dan keramat seputar malam Jumat Kliwon yang akan dibahas dalam tulisan ini. Sebaliknya, saya akan membawa tuan dan nyonya, muda dan mudi, saudara-saudara sekalian untuk menjelajahi kembali suasana Desa Gunungwuled pada tiga atau empat dasawarsa silam.   

Sungguh tak patut, orang-orang desa ini lupa, bahwa di lereng gunung Korakan pernah berdiri sebuah pasar tradisional. Pasar yang menjadi tempat ratusan orang menggantungkan nasib periuk dan asap dapurnya.

Namanya Pasar Kliwon. Nama yang diciptakan sesuai pancawara alias hari pasaran dalam budaya Jawa. Pasar Kliwon berarti pasar hanya digelar sehari dalam sepekan yakni hari Kliwon. Perlu dicatat, sepekan hanya terdiri dari lima hari yakni Pon, Wage, Kliwon, Legi dan Paing.

Di hari Kliwon ini tiga dasawarsa silam atau awal 80-an, orang-orang beriringan di pagi buta menyusuri jalanan desa yang tersusun dari batu-batuan kali Gintung.

Dari arah timur, perempuan-perempuan perkasa menggendong bakul berisi ikan pindang atau ikan panggang yang dibalut daun pisang serta berbagai sayur-sayuran seperti muncang, seledri atau kobis.

Para laki-laki bertelanjang dada memikul dua keranjang penuh berisi gula kelapa atau buah pisang. Mereka datang dari desa dan dusun seberang kali Gintung. Sebagian orang harus menempuh perjalanan puluhan kilometer dari desa Pandanarum dan desa Lawen, Banjarnegara.

Orang-orang memikul keranjang gula kelapa dengan tali sendet. Langkahnya berirama mengikuti suara musik entriit...entriit... entriiit...entriit. Suara itu tercipta dari gesekan tali sendet lantaran gerakan bahu pemikul naik-turun saat berjalan.

Jika musimnya tiba, berpikul-pikul buah-buahan datang seperti durian, manggis atau jambu tokal. Coba perhatikan, pikulan jambu tokal paling istimewa. Buah berwarna pink merona ini ditusuk satu persatu di bagian pangkal buahnya dengan tali bambu muda, digandeng membentuk sebuah kalung. Satu ikat berisi sepuluh buah jambu tokal.

Ikatan-ikatan itu digantungkan dan ditata rapi di rangka khusus dari bambu berbentuk seperti menara pisa. Dua rangka digabungkan dengan belahan bambu yang berfungsi untuk mengangkat beban dan ditaruh di atas bahu. Satu pikul berisi puluhan bahkan ratusan ikat. Jambu tokal menggiurkan. Rasanya manis dan segar.

Dari arah barat, orang-orang datang membawa dagangan sandang, aneka bumbu masak atau jajan pasar seperti lopis, lontong, apem, cucur atau mendoan. Mereka jauh-jauh datang dari Pengadegan atau Karangmoncol.

Dari berbagai penjuru itu, orang-orang berduyun-duyun menuju satu titik: Pasar Kliwon. Lokasinya di sana, ya di sekitar tanah lapang beraspal yang sekarang disebut stamplat.

Lapak tikar pandan digelar berderet di sisi kiri dan kanan jalan. Ada pula beberapa lapak permanen yang berdiri di sebelah selatan jalan. Beberapa warung makan menggelar dagangan. Setiap hari pasaran, puluhan ayam jago dipotong dan dimasak menjadi gulai dengan bumbu kental.

Pasar Kliwon hadir ketika tanah leluhur ini masih dipimpin oleh Lurah Sastro. Di hari pasar, dia biasanya berkeliling pasar dengan menunggang kuda. Ia tampak gagah saat berada di atas punggung kuda jantan berwarna cokelat tua.

Setiap kali melihat Lurah Sastro berkuda, anak-anak kecil girang sekaligus takut. Girang karena bisa menatap kuda dari jarak dekat. Maklum di desa ini, hanya Lurah Sastro seorang yang memelihara kuda. Kudanya ada dua ekor. Jantan semua.

Tapi anak-anak lugu itu takut kalau sampai disepak kaki kuda yang berotot. Konon pernah ada penduduk desa yang jatuh disepak kuda ini gara-gara kurang ajar memegang-megang ekornya yang panjang menjuntai.

Walaupun ada rasa takut, anak-anak itu sebenarnya tak sepenuhnya takut. Buktinya begitu kuda berjalan, mereka berlari-lari kecil mengikuti dari belakang. Mereka paling suka melihat kuda dipacu kencang. Hentakan kaki-kaki kuda menerbangkan debu-debu jalanan. Suara ringkikan kuda memberi sinyal agar orang-orang di jalanan menepi. Biasanya penduduk menyapa Lurah Sastro sambil sedikit membungkukkan kepala. Tempo dulu, jabatan lurah sangat dihormati. Ia priyayi yang membuat semua orang segan.

Sayangnya Pasar Kliwon tidak lama beroperasi. Jumlah pedagangnya bertambah banyak, tapi pembelinya sedikit. Sekitar tahun 1986-1987, pasar tradisional ini semakin sepi. Hingga akhir 80-an, Pasar Kliwon hidup segan mati tak mau. Ada pemilik lapak yang tetap bertahan. Lapak pasar yang terakhir kali buka sebelum benar-benar tutup adalah warung makan Ny. Sandiwirya dan tukang cukur rambut Eyang Ahmadi.

Sejak saat itu, orang-orang desa ini melupakan Pasar Kliwon. Berbagai upaya untuk membangkitkan kembali pasar tradisional ini tak pernah terwujud.

Pasar Kliwon tinggal cerita. Sama seperti pendahulunya Pasar Paing. Sebuah pasar tradisional yang berdiri di jaman Lurah Haji Malik Ibrahim dan lurah-lurah pendahulunya. Tapi pasar ini malah lebih ramai dari Pasar Kliwon. Lokasi pasarnya membujur sepanjang jalan wates dari selatan ke utara.

Sayangnya, tak banyak kabar Pasar Paing yang tersiar. Yang tersisa dalam ingatan, dahulu harga kambing di Pasar Paing tak semahal sekarang. Seekor kambing bandot paling mahal dihargai Rp 5.000 di tahun 70-an. Nominal duit yang dipergunakan juga tidak sebanyak sekarang. Orang-orang desa biasa berbelanja hanya dengan membawa beberapa kepeng rupiah, beberapa sen, beberapa ketip, beberapa kelip atau beberapa talen. 

Satu rupiah itu bernilai sama dengan seratus sen. Satu rupiah setara dengan sepuluh ketip. Satu ketip nilainya dua kelip. Lalu, satu rupiah sama dengan empat tali (talen). Jadi satu ketip sama dengan sepuluh sen. Sedangkan satu tali sama dengan 25 sen, serta satu kelip nilainya sama dengan lima sen.

Tuan dan nyonya, muda dan mudi, saudara-saudara sekalian. Perputaran uang di Pasar Paing atau Pasar Kliwon mungkin tak cukup besar, tapi setiap ketip yang bergulir mampu menggerakkan roda perekonomian desa kala itu. Sekian.

*****

*Rekonstruksi sejarah Pasar Kliwon dan Pasar Paing ini disusun berdasarkan secuil ingatan penulis Sofyan NH yang masih menyaksikan puing-puing terakhir Pasar Kliwon. Sumber lainnya berasal dari penuturan salah seorang pelaku sejarah.

Ini lokasi bekas Pasar Kliwon.







Artikel terkait:

0 comments:

Post a Comment

Budayakan meninggalkan jejak di blog yang dikunjungi dengan memberikan komentar, terimakasih....

 
Desain diolah oleh Sofyan NH | Bloggerized by Ideaku Online | Gunungwuled