Pertemuan terakhirku dengan laki-laki perkasa itu sudah lebih dari satu dasa warsa silam. Tapi kehidupannya sekarang tidak jauh berubah. Setidaknya informasi itu yang bisa kulaporkan dari cerita mulut ke mulut yang sampai ke telingaku.
Waktu itu, usianya sekitar 40-an tahun. Jika diitung-itung dari rentang waktu yang ada, sekarang pasti kepala laki-laki itu sudah dipenuhi oleh uban. Seorang yang sudah tidak bisa lagi dibilang muda.
Masyarakat desaku biasa memanggilnya Kar. Nama yang singkat, sesingkat pergaulannya dengan masyarakat luas. Laki-laki ini memang unik atau sebagian orang menyebutnya aneh. Sebagian lagi malah mempertanyakan, apa dia seorang manusia normal?
Wajar saja pertanyaan nakal seperti itu terlontar. Orang seusia Kar semestinya sudah berkeluarga dan beranak pinak. Tapi Kar hidup seorang diri. Bukan sekedar hidup tanpa istri, dia juga mengisolasi diri dari kehidupan masyarakat luas.
Tempat tinggalnya berupa sebuah gubuk sederhana di pinggir hutan bernama Si Gogor, yang berarti anak macan. Jaraknya dari pemukiman warga cukup jauh sekitar 4 kilometer. Sementara, teman hidupnya sehari-hari hanya tiga atau empat ekor sapi peliharaannya yang tinggal satu atap.
Menceritakan kehidupan sosok unik itu, membawa ingatanku pada tokoh Sigmund Freud yang pernah kukenal dari lembar-lembar buku yang kubaca. Peletak batu pertama di bidang psikoanalisa itu menyebut tentang mekanisme pertahanan diri. Sebuah mekanisme yang dipergunakan oleh manusia, binatang dan tumbuhan untuk bertahan dari segala yang mengancam.
Ada banyak tindakan yang ditempuh. Di antaranya adalah melalui tindakan agresi eksternal dengan menyerang objek yang mengancamnya. Yang tidak patut ditiru, sebagian justru memilih tindakan agresi internal dengan cara menyakiti diri sendiri atau bunuh diri. Di sisi lain, tidak jarang pula yang menjauhkan diri dari ancaman atau mengisolasi diri.
Tapi kaitannya dengan laki-laki misterius itu, apa yang membuatnya terancam hingga mengisolasi diri? Sayangnya, tidak banyak informasi yang kudengar tentang kehidupannya di masa lampau. Seingatku, masyarakat sekitar selalu bersikap ramah dan bertegur sapa jika berpapasan di ladang. Aku juga tidak pernah mendengar dia berkonflik dengan orang lain. Hubungannya dengan masyarkat baik-baik saja.
Filsuf Yunani bernama Aristoteles, jauh sebelum candi Borobudur yang menjadi bukti majunya peradaban di Pulau Jawa berdiri, mengatakan manusia merupakan zoon politicon yaitu makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri dan selalu membutuhkan bantuan orang lain. Lantas bagaimana dengan Kar? Bukankah dia seorang diri bisa bertahan hidup dan nyaris tidak membutuhkan bantuan orang lain?
Kehidupan Kar yang lamat-lamat masih kuingat hanya menggantungkan diri pada padi hasil panen sepetak sawah dan umbi-umbian dari ladang di sekitar gubuknya. Alam raya rupanya memberi apa yang dibutuhkannya lebih dari cukup. Kar tidak pernah mengeluh kebutuhannya tak tercukupi. Makanya aku tidak heran kalau tanpa sengaja mendengar beberapa gadis desa tengah berbisik-bisik mengakui kalau Kar itu sebenarnya "bujang sugih." Hemmmmm....???
Untuk mengurus sepetak sawah, ladang dan beberapa ekor sapi, Kar juga tidak minta tolong pada siapapun. Dia tidak peduli berapa pun penghargaan dari alam atas jerih payahnya. Sedangkan banyak dari kita seringkali memilih bermalas-malasan ketimbang bekerja keras karena hasil yang tidak sesuai keinginan. Bukankah Kar layak disebut perkasa?
Terlepas dari pandangan miring masyarakat terhadapnya, Kar tetaplah seorang manusia biasa. Sekali-kali, dia juga butuh bergaul dengan masyarakat lain sekedar untuk menukar hasil panen ladangnya dengan korek api, garam atau ikan asin.
Jangan sekali-kali menyebutnya gila. Kar normal. Buktinya, dia bisa mengobrol panjang lebar tentang celeng yang menyerang ladang atau panen yang gagal karena sawah mengering. Tapi Kar tidak takut celeng. Dan Kar tetap bisa makan kenyang. Bukankah dia pria perkasa?
Oya di beberapa negara seperti Myanmar, Thailand, China dan Jepang, ada biksu yang kehidupannya mirip-mirip dengan Kar. Mereka yang memilih jalan biksu, awalnya menggunduli kepala dan membuang alas kaki tanda bahwa mereka telah meninggalkan hingar-bingar dunia fana. Setelah itu, mereka menyepi, menghilangkan nafsu duniawi beserta segala ambisi. Tujuan hidup satu-satunya hanyalah untuk berbakti pada alam semesta, manusia dan Tuhan.
Aku curiga jangan-jangan Kar menjalani kehidupan suci seperti para biksu. Apa ada yang pernah melihatnya membakar dupa atau membaca Sutra?
0 comments:
Post a Comment
Budayakan meninggalkan jejak di blog yang dikunjungi dengan memberikan komentar, terimakasih....