Monday, 23 May 2011

Bayang Semu Azahra



Cerita Pendek Desa Gunungwuled
Foto: Istimewa
Bimbang dikala harus dihadapkan pada dua pilihan yang memberatkan. Antara benar cinta dan persahabatan. Kalau saja dia membaca tulisan ini. Mungkin aku sudah tidak lagi di Bumi Jawa. Aku ingin menikmati atmosfir beda yang pada akhirnya nanti akan menjadikan semua baik-baik saja. Sejenak tenangkan pikiran, menghilang dari peredaran.
Gundah, cemas, tak ingin ini yang terjadi. Mimpi terasa melambung di awan, terlempar dengan dorongan angin yang tiada ampun. Petir-petir itu tak jinak, sesekali menyambar, perih, sakit, sungguh, tapi tak jua bisa aku hindari. Pada siapa aku mengadu? pada siapa aku mohon pertolongan? Masih patut kah Tuhan mengasihani aku yang penuh dosa ini?
Semua berawal dari kisah rumit yang aku sendiri masih kesulitan memaknainya. Hidup dalam rantai kekaguman berlebih, bahkan mengkultuskan seorang perempuan yang tidak lain adalah teman seperjuangan di kampus. Ini terjadi pada aku, sahabatku, juga bidadari duniaku.
Jika aku ceritakan sekilas tentang bidadariku, khawatir engkau pun akan suka padanya. Satu yang ingin aku katakan kalau bidadari duniaku ini orang yang anggun, lembut dengan wajah yang menyejukan.
Karena dia aku harus jauh dengan sahabat-sahabatku yang lain. Bahkan sembunyikan kisah kami berdua tanpa menyisakan kecurigaan sedikit pun. Satu bulan berselang, semua berjalan baik-baik saja. Menginjak bulan kedua, layar kami goyang diterpa badai. Komunikasi menjadi kacau, muncul anggapan negative yang terkadang menjadikan emosi negative pula. Ingin aku katakan kalau sebenarnya ada rasa tidak suka yang menggunung jika dia harus dikagumi orang lain. Apalagi orang lain itu sahabatku sendiri. Perih jika harus kehilangan keduanya. Kehilangan salah satunya pun tak rela. Satu keputusan yang aku anggap bisa selamatkan hubungan kami, break untuk waktu yang tidak bisa ditentukan. Berat dan sangat menyiksa. Dilain sisi aku harus perjuangkan amanah yang aku emban sebagai pengurus kegiatan, orang yang aku puja dikagumi sahabatku sendiri. Tak rela jika orang lain singgah dihatinya. Tuhan, tak bolehkah diri ini mendapatkannya ?
 Hari masih terlampau pagi jika harus keluar dari balutan selimut tebalku. Dinginnya angin, tak terbiasa aku rasakan setelah empat tahun hidup di pesisir. Ya, pesisir dengan udara panasnya. Tulang-tulang ini seakan memendek, lemak menipis, lapisan kulit membiarkan pori ini terbuka dengan lebarnya. Gemrecik air masih terdengar, sesekali pintu berderit tanda penghuni ruangan beranjak dari tidurnya. Jarum jam yang berdetak menunjukan pukul dua dini hari. Jangkrik-jangkrik mengerik bersahutan, mereka pun melakukan ritual tersendiri pada Sang Pencipta. Terlalu rendahkah jika aku yang diciptakan lebih tinggi derajatnya dari mahluk hidup semacam jangkrik ini, begitu cuek dengan seruan agama untuk mendekatkan diri padaNya.
A’udzubillah min syaitan, tetap merasa berat. Kelopak mata ini merekat erat, enggan terbuka. Tempat tidur seakan tak ijinkan aku untuk meninggalkannya. Sedikit selimut tersingkap, dingin luar biasa menyerang. Kuatkan diri ini ya Robb. Bismillah, tekad kuat ku tonjok engkau rasa malasku. Aku alihkan semua hal yang menyelimuti diri. Aku lipat selimut tebal itu, aku rapikan tempat pembaringanku. Melangkah pasti menuju daun pintu. Seribu langkah menuju gemrecik air di belakang rumah sana.
Di ruang tengah yang disulap sedemikian rupa menjadi tempat peribadatan, aku jumpai Ibunda tercinta juga ayah yang mulai membaca ayat-ayat suci itu. Bertalu, merdu nan menyejukan kalbu. Subhanallah, nikmat Tuhan mana yang hendak didustakan. Aku menuju tempat padasan[1]. Jemariku bersentuhan langsung dengan jernih air, dingin dan nampak lebih menyegarkan ketika aku basuhkan ke muka, juga bagian-bagian wudhu yang lain. Setelah dirasa cukup, memberanikan diri kenakan pakaian terbagus dengan sarung pemberian sahabat kecilku Va. Baju koko putih dan tak lupa kitab agamaku. Langkahku makin bersemangat untuk turut serta bergabung dengan ayah bunda. Tenggelam nikmati ketenagan yang telah lama sirna. Lama, sangat lama. Setelah lulus SMA aku tinggalkan ritual itu. Bukan meninggalkan, tapi lebih tepatnya kurang membiasakan.
Pendidikan yang dijalani setelah Aliyah, teman-temanku, bahkan apa yang aku temukan di duniaku yang baru seakan menjadikanku lebih bebas. Liberal, mereka menyebutnya.         Entah mengapa aku langsung nyaman saja dengan posisiku juga sebutan yang menempel dari mereka-mereka, “kaum intelektual”, “kaum terpelajar” atau lebih dikenal dengan istilah Mahasiwa. Maha nya siswa. Sedikit bangga meski kalau dibandingkan dengan kawan-kawanku disana sangat jauh. Mereka yang mampu menghasilkan keping-keping rupiah untuk menyokon pun peg kehidupan keluarga. Aku sendiri masih bergantung pada income keluarga. Meski begitu, aku masih merasa lebih dari mereka.
...
Hari beranjak siang, jarum jam menunjukan pukul setengah lima. Semburat orange melukis mega di ufuk timur sana. Dingin itu terkalahkan dengan hangatnya menjalin cinta denganNya. Salat fajar sebagai salat istimewa yang Tuhan sendiri menjanjikan pahala melebihi seisi langit dan bumi. Maha benar Allah dengan segala firmanNya.
Kumandang adzan bertalu-talu, rumahku sendiri tak jauh dari sumber suara itu. Aku bersama ayah bergegas menuju ke sana. Subhanallah, orang-orang tua berduyun-duyun menuju ke tempat yang sama. Alhamdulillah ya Robb, meski tak satu pun pemuda tiga puluh tahun nan terlihat disana. Ironis, meski kemarin-kemarin pun aku masuk dalam kebiasaan mereka, bersembunyi di balik selimut. Penyadaran pelan-pelan, tergelitik keinginan untuk kembali meramaikan kampungku.
...
Mentari memunculkan bentuk bulat merah menyala. Ia mulai hangatkan seisi bumi. Bergelantung di ujung bukit, bijak dan angkuh tampangnya. Cuap-cuap ketilang di ranting pohon rambutan, kaki jenjangnya beralih keatas, ke bawah ranting. Lincah seperti penari salsa. Mereka turut sambut hari, seakan ucapkan selamat pagi pada semua penghuni kampung. Seriang itu mereka, aku pun tak ingin kalah dengannya. Hari ini aku harus ke kantor pos, mengambil kiriman paket dari Bandung. Satu jam perjalanan dengan motor bututku.
Selesai sarapan, bersiap menuju desa Karang Lo tempat gedung kantor pos berdiri kokoh. Ayah dan ibu sudah lebih dulu menuju ke lahan dakwah mereka, sawah. Tempat bergantung semua kehidupan kami. Demikian akrab mereka berpacu dengan waktu, bergumul dengan tanah, cangkul, ilalang, sayur, ubi, juga kotoran hewan yang mereka sebut dengan kompos. Pupuk alami sahabat petani.
Mulai susuri jalan panjang berkelok. Hitam pekatnya menandakan bahwa semalaman hujan mengguyur. Jenjang coklat menghujam ke langit, daun-daun kecil menghijau di setiap ranting, bunga-bunga bermekaran. Ini awal musim penghujan. Alam tetap asri meski lapisan bumi yang lain botak dijarah manusia serakah negri ini. Ah, membahasnya tak cukup waktu seabad. Banyak rantai mafia yang bersembunyi dibelakangnya. Peduli apa mereka dengan keselamatan bumi mendatang. Mereka terobsesi menyulap lembaran daun menjadi kertas bernominal. Sudah lah, usah bahas mereka.
Roda-raoda itu berputar mengantarku. Sebelum ke kantor pos, aku sempatkan mampir di warung makan langgananku dulu kala SMA. Warung Soto istimewa yang bisa membuat lidah anda bergoyang. Soto ayam, kambing, sapi, dengan sajian berbeda. Ada yang dagingnya saja, jeroannya saja, atau pun campuran. Semua tergantung selaera. Harga masih bersahabat dengan pelajar. Satu porsi Rp 8.000,00, ekonomis bukan?.
Tempatnya luas, kursi-kursi tertata rapi dengan meja bundar di tengahnya. Ada televisi kecil di ujung lemari, gambar menu andalan terpampang di dinding yang kokoh terbuat dari anyaman bambu. Lebih detainya silahkan datang kesini, Soto Bancar Bu Rohmah. Tempat strategis di tepi jalan dekat terminal.
Di ujung meja sana ada seseorang yang mengalihkan pandanganku. Rasanya aku kenal, dan nggak asing. Seorang perempuan dengan balutan gamis dan jilbab merah hati. Dia bersama beberapa orang yang mungkin saja keluarganya. Masih dari jauh, aku pastikan dia adalah orang yang aku maksud. Aku mencari tempat duduk sekiranya bisa melihat jelas siapa dia. Hati ini bahagia luar biasa, ternyata benar. Dia Zahra penyejuk hatiku. Langkah seribu hendak menyapanya. Langkahku terhenti ketika serombongan orang menuju ke arahnya. Terpaksa aku kembali ke tempat dudukku dan menyaksikannya dari jauh. Yang membuat aku penasaran adalah sosok lelaki yang ada disana. Siapa dan apa yang mereka lakukan. Sakit, sangat sakit ketika aku tau ternyata mereka sudah terikat.
Tuhan, inikah wujud adilmu? Aku dan sahabatku tidak engkau berikan bidadari itu untuk kami miliki. Meski pahit dan tak rela jua, harus lepas. Kelenjar di mata ini enggan berproduksi keluarkan bulir-bulir bening itu. Tapi tetap saja perih terasa hati ini.

*Devita Rahmawati




[1] Padasan : tempat untuk wudhu dalam bahasa Jawa


Artikel terkait:

4 comments:

LU_JENG said...

ahhh.. bc ni seperti ku berkca, pada kenyataan phit yg ku alami, hingga hadirkan sesak dada kmbali.

Jemari G-Wul said...

Wah Lu Jeng sepertinya sangat menghayati. Terimakasih sudah berkunjung ke blog kami....

LU_JENG said...

hehe.. bnr bos,. terimakasih juga telah mampir di http://lujengbae.blogspot.com

Pena Vita said...

Hoho... maaf kalau ada yang tertohok... "-^....

Post a Comment

Budayakan meninggalkan jejak di blog yang dikunjungi dengan memberikan komentar, terimakasih....

 
Desain diolah oleh Sofyan NH | Bloggerized by Ideaku Online | Gunungwuled